Kediri, (19/4). Di sebuah ruang pertemuan yang hangat di Hotel Harris Gubeng, Surabaya, langkah-langkah kecil untuk masa depan ekonomi pesantren tampak mulai menapaki jalannya. Selama dua hari, 15–16 April 2025, para pegiat pesantren dari seluruh penjuru Jawa Timur berkumpul dalam Rapat Koordinasi Pengembangan Program OPOP (One Pesantren One Product). Di antara peserta yang hadir, tampak Adi Nurohman, Sekretaris DPD LDII Kabupaten Kediri, bersama Adi Warsadi, perwakilan dari Ponpes Pondok Blawe.
Namun lebih dari sekadar rapat, momen ini terasa seperti perjumpaan antar para pemimpi—orang-orang yang percaya bahwa pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga lahan subur bagi lahirnya wirausaha-wirausaha muda santri yang berdaya, mandiri, dan penuh visi.
“Pesantren bukan hanya tempat mendidik dan berdakwah, tapi juga harus menjadi pusat pemberdayaan masyarakat,” ujar Mohammad Ghofirin, Sekretaris OPOP Jawa Timur, saat memaparkan peluang dan tantangan ekonomi pesantren.
Potensi yang Tak Terbantahkan
Jumlah santri di Jawa Timur mencapai ratusan ribu. Mereka adalah sumber daya manusia yang luar biasa, penuh semangat belajar dan loyal terhadap nilai-nilai luhur. Tak sedikit pesantren juga telah memiliki unit keterampilan, mulai dari pertanian, peternakan, kerajinan, hingga teknologi informasi. Potensi ini yang coba digerakkan melalui OPOP—agar setiap pesantren memiliki produk unggulan dan menjadi bagian dari ekosistem ekonomi nasional.
Tak hanya itu, dukungan regulasi pun telah disiapkan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menegaskan arah kemandirian, termasuk di sektor ekonomi. Pemerintah juga hadir melalui berbagai program, dari Kementerian Agama, Kemenkop UKM, hingga BUMN.
Di sisi lain, jaringan sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren adalah modal yang sangat kuat. Jika dimanfaatkan dengan baik, ini bisa menjadi kekuatan ekonomi berbasis komunitas yang langgeng.
Santri yang Menjadi Wirausahawan
Melalui program EKO-TREN dan OPOP, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menghadirkan skema pemberdayaan yang berlapis. Ada Santripreneur—untuk mencetak santri menjadi pengusaha lewat pelatihan dan laboratorium kewirausahaan. Lalu Pesantrenpreneur, untuk mengembangkan koperasi pondok pesantren (koppontren) atau badan usaha pesantren. Serta Sosiopreneur, bagi para alumni pesantren yang ingin berkarya di tengah masyarakat melalui kolaborasi bisnis sosial.
Hingga tahun 2024, program ini telah menyentuh lebih dari 1.200 pesantren dan memberdayakan ratusan ribu santri.
Masih Ada Tantangan
Namun jalan menuju kemandirian ekonomi belum sepenuhnya mulus. Banyak pesantren masih terkendala di aspek manajerial, akses permodalan, bahkan infrastruktur teknologi. Masih ada juga pola pikir tradisional yang menganggap urusan ekonomi bukan bagian dari peran pesantren.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah dan pendamping—memberi pelatihan, menyediakan inkubator bisnis, hingga memperluas jaringan usaha pesantren. Sebab ide besar akan sulit tumbuh jika tidak dipupuk dengan pendampingan yang tepat.
Dari Jawa Timur untuk Indonesia
Kabar baiknya, model OPOP Jawa Timur telah direplikasi oleh 15 kabupaten/kota dan bahkan merambah hingga Provinsi Kalimantan Selatan. Program ini telah menjadi gerakan kolektif, menyatukan dinas, akademisi, pengusaha, hingga masyarakat lewat pendekatan Pentahelix.
“Santri hari ini bukan hanya pemimpin masa depan, tapi juga calon pengusaha yang beretika dan berdampak,” ungkap salah satu peserta rapat dengan semangat.
Melalui sinergi dan komitmen yang kuat, pesantren kini berdiri bukan hanya sebagai benteng moral, tetapi juga sebagai motor ekonomi umat.