Peperangan ini terjadi pada syaban enam hijriah. Meski bukan perang besar, rangkaian peristiwa di dalamnya menggemparkan masyarakat Islam akibat ulah orang-orang munafik. Dilatar belakangi pengerahan kaum bani Mushtaliq, di bawah kepemimpinan Harist bin Abu Dhirar dan kabilah-kabilah Arab di bawah pengaruhnya, pasukan menuju Madinah untuk memerangi Rosulullah SAW.
Beliau segera mengutus Buraidah bin Hushaib Al Aslami. Setelah mendapat kepastian, Rasulullah langsung memimpin pasukan menuju perkampungan bani Mushtaliq turut di dalamnya seorang pembesar munafik , Abdullah bin Ubay bin Salul. Urusan Madinah diserahkan kepada Zaid bin Haritsah.
Setiba di Muraisi, mata air di Qudaid, beliau dan pasukan singgah dan mengatur setrategi. Bendera Muhajirin dipegang Abu Bakar, sedangkan bendera Ansar dipegang Sa’ad bin Ubadah. Terjadilah pengepungan secara ketat terhadap bani Mushtaliq lalu dengan mudah dapat dilumpuhkan. Harta, anak-anak, wanita ditawan kaum Muslimin. Di antara tawanan itu terdapat Juwairiyah binti Al Harits yang kemudian menjadi isteri Rosulullah SAW.
Sebelumnya, Rosulullah mengundi istri-istri beliau, Aisyah-lah yang terpilih ikut berperang, di persinggahan, Aisyah keluar untuk suatu hajat hingga dia kembali lagi. Namun, para pasukan telah beranjak. Dia duduk-duduk menunggu di tempat hingga tertidur karena kelelahan, Shafwan bin Mu’aththal melintas dan terkejut melihat istri Rosulullah tertinggal. Lalu, dia dimohon naik ke untanya untuk disusulkan ke barisan pasukan, sedangkan dirinya berjalan menuntun unta. Setibanya di barisan, Abdullah bin Salul menyebarkan fitnah menuduhkan bahwa isteri Rosulullah, Aisyah, telah berbuat dosa. Berita bohong (hadits Ifki) itu menyebar di kalangan umat Islam. Rosulullah mendapat beragam saran dari para sahabat hingga beliau bertanya langsung pada Aisyah. Lalu, turunlah wahyu surah An-Nur, 24: 11 yang menegaskan berita itu.