Thursday, December 5, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
HomeSosokGuru Profesional, Bermartabat

Guru Profesional, Bermartabat

Oleh: Drs. H. Slamet Pramono, M.Pd., – Pemerhati Pendikan dan Wakil Ketua DPD LDII Kabupaten Kediri

Guru yang bermartabat adalah guru ideal, guru profesional. Guru yang selalu memberikan keseimbangan antara upah yang diterima dengan kerja yang berkualitas. Bisa menjadi pelopor sekaligus berjiwa kompetitor dalam situasi yang bagaimanapun juga. Tidak ‘loyo’ dan seenaknya saja bekerja karena tidak ada kontrol yang cukup kuat dari atasan. Guru adalah panggilan nurani bukan kuli yang bekerja sungguh-sungguh kalau ada ‘juragan’. Guru yang bermartabat adalah guru yang selalu menjaga kepeloporan dan keteladanan dalam melaksanakan tugasnya dengan tertib. Ini berarti mereka mengamankan otorita moral yang menjadi ruh pendidikan.

Dalam diri seorang guru melekat sebuah martabat yang cukup hebat. Guru adalah sosok yang begitu dihormati di masyarakat. Karena dalam pribadi guru tertanam norma-norma kebaikan. Sehingga menempatkannya pada status sosial yang lebih tinggi. Bahkan ketika seorang guru melakukan kesalahan sebagaimana layaknya manusia lain melakukan kesalahan, akibatnya akan lebih dahsyat baginya. Seakan sudah ada klaim dari masyarakat bahwa ‘guru tidak boleh berbuat salah’.

Dalam diri seorang guru melekat tugas dan tanggung jawab ganda. Guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai pengajar guru sebagai mediator transfer ilmu. Di sinilah tanggung jawabnya untuk memfasilitasi peserta didik agar mereka lebih mudah memahami pengetahuan dalam semua mata pelajaran. Beban tugas ini dilalui guru dengan membuat persiapan mengajar ( mulai dari membuat pemetaan, silabus, rencana pembelajaran ) sampai pada action di kelas dan berakhir dengan penilaian.

Dalam memfasilitasi pembelajaran ini diperlukan kreasi dan inovasi. Keberagaman cara yang digunakan guru akan membawa dampak yang luar biasa bagi peserta didik. Hal ini mendorong guru untuk selalu bereksperimen, merancang dan mencoba berbagai model pembelajaran agar peserta didik lebih menikmati pembelajaran itu. Dengan demikian potensi peserta didik akan lebih bisa berkembang.

Tugas guru yang kedua adalah mendidik. Menurut penulis, hal ini adalah esensi tugas seorang guru. Dan inilah sumber pendidikan yang sebenarnya. Sebagai pendidik guru selalu berhubungan dengan kegiatan yang mendorong peserta didik untuk menjadi lebih baik. Mengajar hati atau mencerdaskan hati peserta didik. Hal ini sejalan dengan teori behaviorisme. Kendati teori behaviorisme sudah lama dibantah dan dibongkar kelemahan-kelemahannya, pada dasarnya prinsip psikologi behaviorisme masih tetap dipakai. Manusia, dalam hal ini peserta didik, menurut behaviorisme dapat dikondisikan ke arah positif maupun negatif.

Behaviorisme pada hakikatnya adalah kebalikan pandangan Lambrosso. Sementara Lambrosso menganggap bahwa dasar jauh lebih kuat daripada ajar, dan bahkan tidak mungkin mengalahkan ajar. Tetapi behaviorisme menganggap bahwa dasar akan dikalahkan oleh ajar sesuai dengan kehendak mereka yang mengajar ( mendidik ).

Bahkan Watson, pengikut setia behaviorisme, dengan penuh keyakinan menantang, kalau dia diberi setengah lusin anak yang sehat untuk didik oleh dia, dia yakin akan menjadikan mereka masing-masing seseorang yang dikehendaki oleh orang yang memberikan anak itu: artis, saintis, kapten industri, serdadu, pelaut, pengemis atau pencuri ( “ I will guarenteeto turn each one of them into any kind of man you please – artist, scientist, captain of industry, soldier, sailor, beggar-man, or thief / Burt, 1967:14 )

Menurut Kak Seto, pakar psikologi anak, bahwa menitik-beratkanIQ saja adalah pengingkaran terhadap kecerdasan dalam arti yang sebenarnya. Kecerdasan dalam paradigma baru tidak monolitik namun berprinsip pada keseimbangan antara IO (inteligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).

Dengan kata lain, sebagai pendidik guru akan bersentuhan langsung dengan budi pekerti peserta didik. Dalam pembelajarannya di kelas guru selalu menjadi pusat sekaligus sebagai pendali kegiatan budi pekerti. Oleh karena itu seharusnya tidak ada guru yang tidak berbudi berbudi pekerti. Seperti anggapan masyarakat bahwa guru itu baik dan harus selalu baik. Kalau tidak baik itu bukanlah seorang guru.

Apresiasi Pemerintah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Kondisi pendidikan saat ini belum begitu menggembirakan. Beberapa pengamatan menunjukkan hasil yang cukup memprihatinkan. Berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Ketika masih ada ujian nasional (UN), dari dalam negeri diketahui bahwa NEM SD sampai SMA/SMK relatif rendah dan belum mengalami peningkatan yang berarti. Tahun ini 2009 standar kelulusan dari pemerintah rata-rata masih 5,5. Itu pun masih saja disambut dengan berat hati oleh sebagian besar guru dan orang tua siswa. Dan ditengarai pada ujian-ujian sebelumnya ( yang rata-rata kelulusan 5 ke bawah ) terdapat ‘tim sukses’ ujian nasional di sekolah agar para peserta ujian lulus.

Di samping itu terindikasi bahwa mata pelajaran yang diujikan sekolah dan nonakademis serta merta baik atau sengaja dibaikkan. Oleh karena itu hasil pendidikan di setiap jenjang sekolah belum mencerminkan potensi riil peserta ujian. Sehingga sektor dunia usaha pun mengeluh bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik.

Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi, kalangan SMP mengeluh bahwa lulusan SD kurang baik untuk memaski SMP, kalangan SMA merasa bekal SMP tidak siap untuk mengikuti pelajaran di SMA, dan kalangan perguruan tinggi merasa bekal SMA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan. Hal ini masih saja terasa dari tahun ke tahun walaupun setiap tahun ada beberapa siswa yang memenangi olimpiade mata pelajaran di tingkat internasional. Kenyataan itu belum cukup mengangkat mutu pendidikan secara umum.

Dalam perkembangannya kurikulum terus mengalami perubahan. Termasuk dihapusnya pelaksanaan ujian nasional. Dalam keaadaan seperti ini mutu pendidikan semakin tak terukur. Pemerintah terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan.

Apresiasi positif pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan secara seksplisit tertuang dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.tidak hanya itu peraturan pemerintah itu ditindak lanjuti dengan berbagai kebijakan lain. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006 tentang Standar Isi, No. 23/2006 tentang SKL, No 19/2007 tentang Standar Pengelolaan, No. 20/2007 tentang Standar Penilaian, No. 24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana, No.41/2007 tentang Standar Proses.

Perhatian pemerintah tidak hanya itu, guru yang merupakan unsur penting dalam pengembangan mutu pendidikan juga mendapat perhatian yang serius. Hal itu terbukti dengan terbitnya Permendiknas No 16/2007 ( Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru ) dan No 18/ 2007 ( Sertifikasi Guru dalam Jabatan ). Keluhan guru yang penghasilannya amat rendah didengar oleh pemerintah dan diapresiasi positif dengan program sertifikasi. Dengan harapan mutu pendidikan di negeri ini benar-benar meningkat.

Sertifikasi dan Martabat Guru

Sertifikasi sudah bergulir dan terus digulirkan sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan undang-undang yang sudah dibuat. Sertifikasi yang dalam kelahirannya banyak dicibirkan orang sekarang telah membuktikan diri bukan hanya sebagai penghibur para guru yang bekerja dalam kegersangan. Tiga bulan tunjangan pertama sudah mengalir, setidaknya dapat menepis beribu keraguan yang selama ini menghantui guru-guru di negeri ini. Katanya uang yang dibayarkan untuk tunjangan serttifikasi itu adalah uang ‘yen’ artinya yen duwite ono( kalau uangnya ada ).

Memang bangsa kita akhir-akhir ini sedang dirundung banyak masalah. Penyelewengan, konflik antar suku, pilkada sampai pada bencala alam. Tidak henti-hentinya peristiwa itu menggoyang negeri ini. Tentunya dana untuk kebutuhan ini tidak sedikit jumlahnya. Kita harus lebih prihatin menyikapi kondisi yang begitu carut marut. Sehingga mereka lebih banyak menyangsikan daripada mempercayai program sertifikasi ini. Ketika para guru profesional membuka rekening ( yang tentu saja baru ) dan di dalamnya terdapat angka lima juta rupiah lebih sebagai tunjangan profesi untuk tiga bulan pertama, mereka yang tadinya pesimis mulai bergeser menjadi optimis dalam menyikapi sertifikasi ini. Sampai sekarang tunjangan profesi guru mengalir terus tanpa putus.

Tetapi apakah dengan pencairan tunjangan sertifikasi ini serta merta mengangkat martabat guru? Seharusnya begitu. Tetapi setidaknya pencairan tunjang profesi ini dapat memberikan kesegaran pada guru yang sudah lama haus dalam kegersangan. Sebuah fenomena yang mencerahkan, menyibak tabir kegelapan finansial para guru sebagai pelaku utama dalam mencerdaskan bangsa. Dengan peningkatan finansial ini pemerintah mempunyai harapan pendidikan ( yang menurut beberapa survey pendidikan di Indonesia terpuruk ) di negeri ini dapat meningkat kualitasnya. Harapan itu terutama ditujukan pada para guru profesional.

Reward sudah didapat. Euphoria menghiasi hati para guru profesional. Sebuah tanggung jawab menunggu diwujudkan. Inilah saatnya dengan sertifikasi ini guru mengembalikan jati dirinya yang ditengarai sudah lama tergadaikan ( dengan alasan klasik yaitu ekonomi ). Guru adalah pekerjaan yang bermartabat dan sangat terhormat. Walaupun guru sebagai fasilitator di sekolah ia tidak bisa melepaskan perannya yang sejati yaitu sebagai pendidik, pengajar dan sekaligus sebagai pelatih. Dengan sertifikasi ini pula, setidaknya mereka mendapat kesempatan mengakrabi perkembangan pengetahuannya sebagai dasar untuk melaksanakan tugasnya supaya menjadi lebih baik.

Otorita moral ada pada dunia pendidikan. Pendidikan adalah sumber moral. Guru ( juga kepala sekolah ) adalah agen/ distributor moral. Siswa adalah konsumennya. Oleh karena itu mereka harus berupaya menjaga dan melestarikan moralitas dalam dunia pendidikan. Kejujuran menjadi penyangga dalam pelaksanaan tugasnya. Terasa naif kalau guru tidak bisa membedakan mana yang bermoral mana yang tidak. Mana yang baik mana yang buruk. Mana yang jujur dan mana yang tidak jujur. Sangat memprihatinkan apabila di dunia pendidikan sendiri terjadi penyelewengan ( korupsi, kolusi maupun nepotisme ). Bangsa ini akan menjadi apa kalau dalam dunia pendidikan sarat dengan penyelewengan? Kalau itu yang terjadi pertanda sebuah kehancuran bangsa yang besar akan segera muncul. Dan masih adakah yang bisa diharap dalam kondisi seperti ini?

Guru/ kepala sekolah sebagai pendidik mempunyai kewajiban mendidik mental dan moral siswa. Dalam hal ini motto ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani harus selalu dijadikan pedoman. Dimulai dari diri sendiri sebelum mendidik para siswa. Itu artinya para guru mendidik dirinya sendiri terlebih dahulu. Sehingga dirinya dapat dijadikan contoh, dijadikan teladan. Guru dalam meraih keingingan ( sertifikasi maupun kenaikan pangkat ) tidak lagi melalui penyimpangan atau jalan pintas. Walaupun pasal 1ayat 2 Permendiknas RI No. 18 tahun 2007 mensyaratkan peserta sertifikasi harus guru yang memiliki kualifikasi akademik S1 atau D IV, tentunya guru yang belum memenuhi persyaratan tersebut tidak akan menempuh jalan pintas dengan sejumlah uang untuk mendapatkan kesarjanaannya. Penulis merasa prihatin apabila S.Pd. itu diartikan oleh orang sekolah pendhak setu ( sekolah setiap hari sabtu saja) atau sarjana pemberian dosen yang untuk meraihnya hanya perlu waktu beberapa bulan saja. Yang akhirnya mereka menjadi sarjana padha dora(sarjana semua bohong).

Karya tulis yang juga dipersyaratkan dalam pengembangan profesi juga bukan karya pabrikan (jiplakan atau membeli) tetapi adalah karya sendiri yang benar-benar lahir dari kreativitas seorang profesional. Apabila para guru tidak memesan pada calo karya ilmiah tentu karya pabrikan juga tidak akan muncul. Sehingga pembuat karya tulis gadungan pun dengan sendirinya akan menutup pabriknya.

Sertifikasi diharapkan juga membangkitkan etos kerja para profesional menjadi lebih baik. Senin sampai sabtu tidak ada hari libur, kecuali tanggal merah. Mulai pagi sampai siang mereka selalu ada di sekolah. Ada jam mengajar atau tidak itu adalah jam kerjanya. Sehingga mereka dapat menyelesaikan pekerjaan sekolah di sekolah. Perpustakaan tentu juga akan dipenuhi para guru ini. Membaca. Mereka memberi contoh para siswa untuk lebih rajin membaca, di samping untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Sebagai fasilitator di sekolah mereka harus siap selalu memfasilitasi para siswa. Sehingga kapan pun para siswa memerlukan bantuannya mereka tidak pernah menjawab tidak atau tidak ada waktu.

Dengan fokus pada pekerjaaannya mereka akan lebih dapat mengembangkan kreativitasnya dalam memfasilitasi pembelajaran di kelas. Beraneka teknik pembelajaran tercipta. Tentu saja kondisi ini akan membangkitkan gairah siswa dalam belajar. Siswa merasa senang, merasa perlu belajar. Tidak bosan. Sehingga mereka tidak merasa terpenjara di sekolah. CTL ( contextual teaching and learning ) bukan hal yang baru atau asing baginya. Ini akan menjadi inspirator guru untuk mengelola kelasnya. Bahkan pembelajaran di luar kelas pun sangat mungkin terjadi.

Dapatkah jati diri dan martabat guru kembali melekat pada guru-guru profesional di negeri ini? Dapat atau tidak bergantung pada guru itu sendiri. Sementara kondisi di lapangan kuranglah menggembirakan. Sepertinya guru ( sebagian besar ) telah tercerabut dari jati dirinya. Sehingga martabatnya berkurang. Guru yang ada sebagian besar hanyalah pekerja ( pengajar ) bukan pendidik. Itu saja mungkin masih lebih baik kalau mereka memahami dan melaksanakan pengajarannya dengan tertib. Banyak faktor yang menyebabkan mereka begitu. Keteladanan dari atasan yang mungkin dirasakan kurang, sikap dan akibat yang sama bagi guru yang rajin maupun yang tidak, pangkat/jabatan terus saja mengalir, ekonomi yang kurang. Tentu saja hal itu menjadi alasan utama hilangnya jati diri/martabat guru.

Reward dan punishment adalah faktor utama untuk mengembalikan jati diri seorang guru sehinga mereka bisa meraih martabatnya lagi. Hal ini yang dirasakan sangat kurang dalam dunia pendidikan. Karena prestasi bukan jaminan untuk berkarir. Sebaliknya pelanggaran, ketidak disiplinan bukan jaminan untuk mendapatkan hukuman. Hampir-hampir tidak ada hubungan antara penghasilan dengan kedisiplinan seorang guru. Sebuah fenomena yang memprihatinkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan yang sedang terpuruk.

Cukup atau tidak tunjangan profesi dan gaji yang diterima guru untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak berubah menjadi lebih baik. Tetapi setidaknya, pemberlakuan tunjangan sertifikasi itu adalah apresiasi positif pemerintah sebagai reward bagi guru-guru yang ‘berprestasi’. Sertifikasi setidaknya dapat dijadikan pemantik diri untuk lebih baik. Ini suatu bentuk penghargaan yang juga mempunyai konsekuensi logis bagi guru. Untuk itu perlu juga disikapi juga dengan positif. Tidak hanya senang ketika menerima tunjangan tetapi juga harus mengimbanginya dengan kerja yang lebih baik.

Berbuat baik itu banyak halangannya. Berbuat tidak baik banyak temannya sehingga terasa aman-aman saja. Kecenderungan ke arah ketidakbaikan sangat besar. Maka sangat pantas dan wajar apabila pemerhati pendidikan menyangsikan apakah ‘guru profesional’ dapat meningkatkan kinerjanya? Apakah dapat mengembalikan jati diri dan martabat yang telah tergadaikan?

Oleh karena itu sertifikasi harus juga diformulasikan sebagai punishment. Di samping sebagai bentuk penghargaan untuk para guru yang berprestasi, sertifikasi juga digunakan sebagai alat hukuman. Sehingga dapat mengawal kembalinya jati diri guru di negeri ini. Sehingga guru/ kepala sekolah dengan kejujuran hati dan ikhlas mau melaksanakan tugas formalnya dan tidak sekedar formalitas belaka. Keseimbangan reward dan punishment dalam dunia pendidikan adalah langkah maju untuk mewujudkan kualitas pendidikan itu sendiri. Akhirnya kualitas bangsa dan pemimpin-pemimpinnya juga meningkat. Pada kondisi seperti ini tentunya kita selalu akan menemukan kejujuran pada setiap pelaksana kebijakan. Sehingga jadilah kita sebagai guru yang bermartabatyang menyemaikan bangsa yang bermartabat pula.

Kepeloporan Pengukuh Martabat

Tunjangan profesional sudah mengalir deras. Bagaikan hujan yang tercurah dari langit. Guru yang mendapat tunjangan ini adalah guru yang profesional. Profesionalitas guru akan diuji di sini. Keseimbangan kinerja dengan upah yang diterima dipersoalkan. Apakah guru yang menerima tunjangan ini bisa memberikan kinerja yang seimbang dengan upah yang diterima?

Realita yang ada mengharuskan kita untuk berhitung. Karena gaji tidak cukup mengakibatkan kinerja tidak maksimal. Hari kerja umumnya hanya lima hari ( SMP/SMA). Hari libur tambah sehari lagi selain hari Minggu, jam kosong katanya. Itu belum lagi hari lain yang tidak ada jam mengajar, kebanyakan guru pulang atau meninggalkan sekolah. Lebih parah lagi – sebaiknya ini tidak dicontoh – guru yang sering meninggalkan kelas tanpa ada keterangan yang jelas. Sebuah budaya sekolah yang jauh dari harapan.

Etos kerja seperti ini telah mendarah daging khususnya pada para guru. Terdorong keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka diperjuangkanlah peningkatan gaji guru dengan segala bentuk tunjangannya. Sekarang guru sudah dapat sedikit tersenyum. Apa yang diperjuangkan selama ini membuahkan hasil. Setidaknya ‘guritan’ ini gambarannya

Guru-guru wis bisa gumuyu

Lumunturan sihe sangu

Patang yutan saben wulane

Pantes nyalirani pangarsa tembene

Saget tinulad ing panggawe

Serat pangudi den tetepi

Temen kinurmat ing pangaji

Guru yang telah mendapatkan tunjangan profesi sedikit bisa tersenyum. Setidaknya mereka lebih tercukupi kebutuhannya daripada yang lain. Kurang lebih empat jutaan diterimanya setiap bulan. Jumlah itu setidaknya dapat mengurangi atau bahkan dapat mengobati pusingnya kepala karena memikirkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, amat tidak berlebihan bila diharapkan guru profesional menjadi pelopor dalam melaksanakan tugasnya.

Dengan terangkatnya ekonomi guru, memungkinkan dirinya lebih bisa fokus dalam pekerjaannya. Sehingga bisa melaksanakan amanat keguruan dengan sepenuh hati. Setiap hari datang di sekolah pukul 07.00 sampai selesai pembelajaran pun dapat dilaksanakan. Guru kita ini tidak lagi tergesa-gesa pulang setelah mengajar. Mereka akan berpikir bahwa semua pekerjaan sekolah diselesaikannya di sekolah. Sehingga waktu di rumah benar-benar untuk keluarga.

Kesempatan yang begitu luas di sekolah – karena setiap hari di sekolah – sangat memungkinkan guru memberikan pelayanan yang jauh lebih baik kepada siswa. Guru lebih dapat memberikan sentuhan-sentuhan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Kapan pun peserta didik memerlukan bantuan guru dapat melayaninya dengan baik. Karena para guru selalu ada di sekolah.

Guru profesional tidak menunggu diperintah atau diberi sanksi untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan amanat SK yang diterimanya. Dengan dorongan hati yang kuat ia akan berbuat seperti itu. Guru profesional yang bekerja tertib itulah yang sebenar-benarnya seorang pelopor. Mereka dengan keikhlasan hati menancapkan tonggak kultur sekolah – budaya tertib kerja. Hal inilah yang patut diteladani oleh peserta didik. Ketertiban/ kedisiplinan yang dengan sendirinya tertanamkan pada diri peserta didik.

Guru yang melaksananan pekerjaan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada akan mendapatkan penghormatan dan kewibawaannya sendiri. Tidak perlu dicari, penghormatan dan kewibawaan itu akan datang dengan sendirinya. Pada dasarnya kewibawaan itu melekat pada seseorang yang jujur dan bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Diyakini bahwa guru profesional akan mengawali langkah untuk tertib kerja. Guru profesional adalah pelopor budaya tertib kerja. Dan itulah kewibawaan sebenarnya seorang guru. Dengan kepeloporannya itu sebenarnya guru telah mengukuhkan kewibawaan dan martabatnya sendiri. Tanpa harus meminta pengakuan, penghormatan, mereka pasti menempatkan guru di tempat yang semestinya. Terhormat dan dihormati.

Di samping itu, dalam diri seorang guru setidaknya terpancar jiwa kompetitor. Sebagai kompetitor yang tangguh, guru tidak boleh melupakan empat hal yang menjadikannya seorang kompetitor yang tangguh. Yaitu: fisik, teknik, strategi, dan mental.

Fisik yang sehat merupakan modal dasar bagi guru untuk bekerja. Kelancaran pekerjaan akan terganggu apabila tubuh tidak sehat atau sakit. Oleh karena itu, kekuatan dan ketangguhan fisik yang prima sangat berperan dalam keberhasilan kerja.

Teknik dan strategi juga tidak bisa dikesampingkan. Fisik yang kuat pun kurang begitu berarti apabila teknik dan strategi kita lemah. Guru dituntut untuk terus mengasah teknik pembelajaran serta mengkreasi strategi pembelajaran yang inovatif agar peserta didik lebih tertantang untuk terus mengembangkan potensinya.

Mental yang kuat menjadi senjata pendorong kesuksesan kompetitor. Mental adalah perilaku jiwa yang tahan uji. Tidak terganggu dan tidak terusik oleh bentuk-bentuk gangguan. Baik dari dalam maupun dari luar diri sang kompetitor. Fisik baik, teknik baik, dan strategi bagus tetapi kalau mentalnya rusak maka mereka tidak akan pernah mencapai hasil yang maksimal.

Guru profesional sebagai kompetitor yang tangguh harus juga memperhatikan keempat unsur tersebut. Keempat unsur itu adalah kristalisasi jiwa seorang guru dan dijadikannya sumber penggerak guru dalam melaksanakan tugasnya. Sebuah kemuliaan tercipta apabila guru juga seorang kompetitor yang tangguh. Mempunyai fisik baik, teknik menawan, strateginya bervariasi dan inovatif serta bermental mulia.

Guru yang bermartabat adalah guru ideal, guru profesional. Guru yang selalu memberikan keseimbangan antara upah yang diterima dengan kerja yang berkualitas. Bisa menjadi pelopor sekaligus berjiwa kompetitor dalam situasi yang bagaimanapun juga. Tidak ‘loyo’ dan seenaknya saja bekerja karena tidak ada kontrol yang cukup kuat dari atasan. Guru adalah panggilan nurani bukan kuli yang bekerja sungguh-sungguh kalau ada ‘juragan’. Guru yang bermartabat adalah guru yang selalu menjaga kepeloporan dan keteladanan dalam melaksanakan tugasnya dengan tertib. Tanpa harus diperintah mereka sudah mengetahui tugas dan kewajibannya. Dengan sepenuh hati mereka mengamankan otorita moral sebagai ruh pendidikan di negeri ini. Dengan demikian moralitas bangsa diharapkan bisa terjaga dengan hasil pendidikan yang bermoral.

LDII Kediri
LDII Kediri
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) adalah organisasi kemasyarakatan yang fokus membangun karakter profesional religius.
RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments