Di balik gemerlap Menara Asmaul Husna kebanggaan Kota Kediri ada tangan-tangan terampil yang merawatnya. Mereka para calon juru dakwah LDII, Sulthon Afid salah satunya.
Bertandang ke Kota Kediri yang jaraknya sekitar 100-an kilometer dari Surabaya, ibu kota Jawa Timur, Anda akan bertemu pemandangan megah, Menara Asmaul Husna. Menara itu juga disebut warga sebagai Menara Agung.
Memang mengaksesnya tak bisa sembarangan. Pasalnya, menara tersebut berada di dalam Pondok Pesantren (Pesantren) Wali Barokah – yang tentu bukan destinasi wisata. Dahulu, sebelum wabah Covid-19 melanda, sebulan sekali warga Kota Kediri bisa mengaksesnya. Pasalnya, pondok pesantren itu sebulan sekali membuka pintunya bagi warga atau tamu, untuk menjenguk putera-puteri mereka yang belajar di sana.
Menara itu selalu bersih dan terawat. Bahkan kubah emas di puncak menara juga rutin dibersihkan. Pihak pondok membentuk “Kelompok Menara” yang terdiri dari 27 santri untuk merawat menara megah, yang dibangun sejak awal 2000-an itu.
*
Afid panggilan dari Sulthon Hafid. Ia pemuda asal Palembang kelahiran 2002. Menjejakkan kaki di Kediri enam bulan lalu, dengan tekad yang memenuhi dadanya: ia ingin menjadi mubaligh atau ulama. Dari lima bersaudara, hanya ia dan adiknya yang belum menjadi “pewaris para nabi”. “Saya bersyukur walaupun orangtuanya bukanlah mubaligh, tapi terus mendukung saya dan adik bungsu,” tuturnya sembari memegang erat Alquran. Dua bulan yang lalu adik perempuannya, menyusul untuk nyantri di Pondok Pesantren Wali Barokah.
Niat luhurnya itu bukannya tanpa aral. Saat di Palembang, bacaan Alqurannya payah. Bahkan kakaknya pernah menegur, kalau membaca Alquran jangan mengikuti lagu, “Yang penting lancar dulu,” Kata Afid meniru Fajrin, kakaknya. Afid tak bersantai-santai di pesantren. Selama dua bulan ia belajar sungguh-sungguh di kelas pegon – huruf Arab gundul – dan bacaan. Tilawahnya telah banyak berubah dan dinyatakan lulus untuk mengikuti kelas lanjutan.
“Saya masih mengenang saat pelajaran membaca Alquran di kelas Bangsal. Saat disimak, bersama kawan-kawan di Kelompok Menara. Sebagian besar dari kami tidak tahu tajwid, bahkan seperti hukum mad iwadh,” pungkasnya. Mad iwad adalah mad yang terjadi karena penggantian harakat tanwin fathah, menjadi alif seperti mad thabi’i karena diwaqafkan. Bacaan mad iwad dibaca waqaf dengan dipanjangkan sampai satu alif atau dua harakah
Seiring waktu berjalan, Afid tidak hanya belajar memaknai dan memahami Alquran dan Alhadis. Ia mendapat tugas tambahan untuk membersihkan Menara Asmaul Husna. Bersama 27 orang rekannya, ia diberi tanggung jawab memelihara menara setinggi 99 meter itu. Setiap hari, secara bergiliran ia harus menyapu, mengepel, bahkan harus naik ke puncak tertinggi menara itu.
Bila menara itu selalu bersih dan lantainya bebas debu, janganlah heran. Menurut Afid, “Kelompok Menara” memegang teguh prinsip 3S, yang jadi jargon utama kelompok itu. 3S artinya “Selalu Depan, Selalu Tanggap, Selalu Bertanya”. Masuk dalam tim itu, agar bisa bertahan juga tak sembarangan. Mereka harus dibiasakan dengan ketinggian selama tujuh bulan, “Awalnya saya harus mengikuti kegiatan seniornya dari bersih-bersih lantai hingga di puncak emas,” ujarnya. Setelah terbiasa, barulah dia diberi penugasan yang harus dilaksanakan di setiap tingkat menara.
Menurut Afid, tidak ada perasaan berat saat mengerjakan tugas-tugas itu, yang dia sebut sebagai amal sholih – amal kebajikan yang berkaitan dengan iman. Dengan riang gembira ia mengerajakan tugasnya saban hari. “Khusus pada hari Jumat mulai pukul 08.00 hingga 11.00,” ungkapnya. Setelah pukul 11.00 segala kegiatan dihentikan.
Di menara itu, terdapat pua perpusatakaan yang digunakan Majelis Taujih Wa Al Irsyad – sekelompok ulama LDII – untuk melakukan kajian berbagai hukum dan masalah umat Islam.
Afid juga mengalami ketegangan, saat ditugaskan membersihkan kubah yang disepuh emas seberat 60 kilogram. Di puncak ketinggian Kota Kediri itu, ia merasa diayun-ayun. Awalnya ia sangat takut, namun perlahan-lahan tumbuh kebanggaan dan rasa senang saat mengelap emas, “Dari atas menasra pemandangan kota Kediri tanpa halangan,” tutur Afid. “Saya sudah tiga kali naik ke puncak menara,” katanya sambil tersenyum.
*
Di pagi yang cerah, di mana santri mulai berada di pos tugas mereka masing-masing, Afid berkisah. Sambil sesekali menghela nafas dan mata mulai berkaca-kaca, akhirnya setegar-tegarnya Afid, mulai menangis teringat dengan pesan Ibunya, “Ibu meminta saya agar jadi orang yang bertanggung jawab, yang sabar dan usaha belajar mandiri,” tuturnya lirih.
Bukan dari keluarga yang berada, orangtua Afid bekerja keras agar ia bisa berangkat ¬nyantri di Kediri. Sebagai petani sawit dengan lahan seluas tiga hektare, hasil panennya tak bisa menutupi seluruh pengeluaran untuk kebutuhan keluarga, “Sawit sudah tidak jadi primadona, harganya naik turun,” ujarnya.
Orangtuanya yang selalu kukuh melaksanakan kurban, sempat membuat harapannya untuk masuk Ponpes Wali Barokah tertunda, “Saya dipanggil ibu, dan mengatakan menjelang kurban dan banyak kebutuhan, nanti kamu mondoknya berangkat bulan September,” tutur Afid menirukan kata ibunya.
Tapi kejutan kecil terjadi. Tiba-tiba sang ayah meminta sepupunya untuk mengantar Afid ke Kediri tepat pada bulan Juni, “Hati ini terasa trenyuh dengan perjuangan orangtua agar saya bisa mondok,” kata Afid sambil sesekali mengusap air matanya.
Di balik kebanggaannya merawat menara ikon Kota Kediri itu, Afid berharap pada bulan September bisa diterima untuk mengikuti tes calon mubaligh-mubalighot. (Rozi/Editor LC)